Sabtu, 12 Mei 2012

Alah, ka...mu!!!

Oleh: H. Yahya

Sudah jam sembilan pagi. Tapi sosok yang bernama guru belum nongol. Guru kimia yang akan ngisi pelajaran di jam pertama dari tadi ditunggu-tunggu oleh anak-anak yang baru aja pake seragam putih abu-abu.
    Murid baru itu beraktifitas beraneka rupa biar nggak bete. Tiga cewek, yang sepertinya berasal dari SMP yang sama, sedang bergosip. Cewek lain ngobrol ringan aja, nggak kayak yang lagi asik ngegosip itu yang pake terbahak segala. Ada juga cewek yang kalem.
Kalo yang cowoknya main ribut-ributan. Biasalah, cowok.
Menunggu adalah perkerjaan paling membosankan di dunia. Kata siapa? Kata banyak orang. Tapi tak selamanya perkataan itu berlaku. Buktinya, cowok-cowok yang pada nongrong di depan pintu nggak keliatan bosan kok. Karena ada kegiatan samblian yang mereka bisa lakuin, ngegodain anak cewek kelas sebelah: kelas Analis, yang secara kebetulan juga ditinggal kosong pelajaran.
“Suit, suit… Ipit, godain kita dong!” Toro yang memulai. “Pit… pit… pit…! Aduh beningnya!”
”Ha ha ha...!” teman-teman lain pada ketawa.
Si Ipit, yang jadi bahan godaan, menengok dengan tatapan tajam. Berusaha menemukan orang yang tadi memanggilnya. Tak didapatnya makhluk itu.
”Eh, eh, siapa sih yang tadi teriakin?” tanya Ipit pada temannya. Geer sebenernya.
”Mungkin yang kurus itu, kali. Yang item.”
”Ha ha ha...!” cewek-cewek analis nggak mau kalah, ketawa juga. Ada yang ngikik kayak Mak Lampir menang lotre. Dan langsung dibalas dengan ”Wu... u...” oleh cowok-cowok penggoda yang lagi duduk jongkok di tepi got.
Tapi seribut-ributnya orang yang ribut, Restu lebih ribut lagi. Anak KI yang berasal dari Medan ribut-ribut menyombongkan dirinya paling ganteng. Padahal nggak. Teman-temannya panas-panasin, ”Buktikan dengan ngajakin kenalan cewek Analis kalo memang kamu ganteng!”
Dibilang ganteng siapa yang tak sudi. Kecuali yang tak mau. Dan tak disangka, orang yang barusan memproklamirkan dirinya sebagai yang terganteng menyanggupi tantangan itu. Restu benar-benar ingin ngebuktiin. Nekat juga tuh anak.
Dan dari tempat anak-anak jongkok, diliatnya Restu menyalami satu-satu cewek analis itu. Anak-anak langsung iri mo kenalan juga. Tapi malu-malu. ”Restu aja bisa, masak aku tidak,” batin seseorang. ”Padahal dia kan muridnya Tong Sam Cong, yang berbulu itu.”
Restu kembali kepada teman-temannya dengan sejuta senyum. Tanpa diminta, dia dengan senang hati melaporkan hasil kunjungannya. ”Yang ada tai lalatnya itu namanya Nevy, dia anak Samarinda rupanya. Yang manis itu namanya Agustini. Yang kece namanya Fitriyani. Yang rambutnya terurai namanya Madonna. Trus yang pake bando namanya Ika. Puas kalian? Sekarang gantian giliran kau, Srin! Kau yang paling banyak omong!” suruhnya kemudian.
Asrin langsung bangkit. Anak-anak jadi terkagum-kagum. Tapi kemudian...
”Lho, Srin, mau ke mana? Kelasnya analis di situ!” kata Fadli meralat pergerakan Asrin yang melawan arah.
”Mau ke wese dulu,” kilah Asrin sambil tersenyum licik.
”Kau coba, Pad?” Restu kembali menyuruh. Yang di suruh langsung bangkit juga kayak Asrin.
Anak-anak kembali terkagum-kagum atas keberanian Fadly.
Fadly berjalan dengan pede menuju kelas analis. Tapi... tapi apa? Jangan-jangan kayak Asrin juga, berputar ke WC. Nggak sih, tapi Fadly jalannya nggak ngelewatin koridor. Dia malah berjalan menepi di tepi got. Nggak berani deket-deket cewek analis dan nggak mampir dikelas mereka. Malah jalan terus.
”Woi, Pad. Udah lupa ya kelasnya analis yang mana. Kan kamu tadi yang tunjukin ke Asrin. Woi, woi...!” Si Bimo teriakin.
Tapi Fadly cuek bebek dan terus berjalan. Dan di ujung koridor sana dia sudah nggak keliatan. Tapi tiba-tiba muncul di belakang anak-anak sambil ketawa-ketawa. Tadi cuma putar 4 kelas.
”Katanya mau kenalan.”
”Nggak jadi, Gus. Soalnya aku jadi ingat pepatah, ’Bila ada kata-kata saya yang salah jangan di simpan dalam-dalam,’”
Wuuuu...! apa hubungannya. Kecewa pembaca!
 Sementara cowok-cowok KI ber wu wu ria, ternyata cewek-cewek analis yang masih demen di depan kelasnya juga lagi ngegospin mereka.
”Norak ya, mereka. Kayak nggak pernah liat perempuan aja.”
”Iya ya...”
”Lama-lama aku jadi risih juga. Soalnya kesannya kelas kita jadi pelampiasan mereka. Mentang-mentang kelas mereka nggak ada cewek cantiknya.”
”Iya ya...”
”Iya, liatin aja tuh. Yang tadi kenalan, geernya minta ampun.”
”Gara-gara kamu sih, Fit, yang ngusulin terima bubuhan mereka. Kan yang lainnya jadi mau juga. Kita pang yang jadi bahan perjudian. Pasti bubuhan mereka lagi taruhan siapa yang berhasil kenalan dibeliin sanggar.” Ujar Nevy.
”Iya, ya...”
”Makanya nggak usah diladenin lagi.”
”Iya, ya...”
”Ih... apa sih iya ya iya ya aja.”
“Hei! ngapain sih, Pik, kamu gabung sama kita-kita! Malah tambah bikin kelas kita dikacangin. Sana gabung sama cowoknya. Kamu kan cowok. Malu-maluin aja, ihhh!” sembur Fitriyani pada Topik yang ternyata, dengan manisnya ikut jongkok di tengah-tengah cewek kece itu. Topik langsung nurut.
O ya, pembaca tadi dengernya cewek analis ngomong-ngomong bahwasanya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, eh maksudnya bahwa mereka ngata-ngatain cewek di kelas KI nggak ada yang cantik. Wah sialan mereka, berani-beraninya berkata jujur. Sumpah, kalo ketemu sama orang yang bilang nggak yang cantik ntar aku sendiri yang bilangin ke dia, ”Kamu kok tega amat nggak mau berbohong demi kebaikan orang!” hehehe...  becanda. Jangan salah. Cewek kelas KI juga cantik-cantik kok. Terutama ada satu yang paling cantik. Yaitu yang salah satu dari tiga cewek yang asik ngegosip di dalam kelas. Hehehe, piss.
Giliran Waluyo yang menuju anak analis. Wong jowo satu nih, lebih nekat dari Restu. Iya, Waluyo dengan seyakin-yakinnya bakal mendapat sambutan hangat sehangat mentari yang mulai tinggi mengulurkan tangan dan nggak ada yang menyambut perkenalannya. Karena kesel bin kecewa nggak digubris, akhirnya Waluyo ambil tindakan sendiri. Diraihnya tangan Ika dengan paksa, ”Kenalin, namaku Waluyo, dhari blitar,” logat jawanya sangat medok.
Bukannya dapat balasan bae-bae dari perbuatannya yang bisa saja mendapat kasus perbuatan tidak nyaman, Ika malah bangkit, menarik tangannya lalu menghadiahi wong jowo itu dengan cap telapak tangan panas di wajah,
Plak...!
Oh, Tuhan…. Waluyo ditampar.
“Wuahahaha…!” tawa membahana teman-teman di sana menghambur.
Waluyo kembali dengan membawa kehinaan yang tiada tara. Tapi toh teman-temannya nggak merasa terhina. Malah terhibur dapat potongan adegan sinetron gratis. ”Kurang ajjar, wong eddhan. Asu e!”
Anak-anak masih menyisakan tawa. Terpingkal-pingkal. Malah pada ngeluarin air mata.
Tepat setelah tawa anak-anak mulai mereda, datang Asrin dari arah tadi ngeloyor kabur, berlari kayak diuber hantu. Bimo yang pertama liat. Terbelalak. Teman-teman yang pada liatin Bimo penasaran pula dan ikut melihat ke arah pandangan Bimo. Kenapa tuh??? Ada apa sih?
Pas dekat, dengan tanpa mengundur gas, Asrin langsung masuk kelas sambil berkata, ”Ada guru, ada guru. Pak Mantooooooo!”
Kontan suara gemuruh langsung menggema. Anak-anak berhamburan menuju kelas dengan rasa takut. Si Bagus kakinya kecebur got, terjadi kesalahan landing. Mana aernya butek, lagi. Udin, yang jangkung, ketika bangkit langsung menanduk dagu Hans Perdana yang dari tadi berdiri di belakang Udin, tanpa tanggung-tanggung. ”Adjeeh!” Hans menggigit lidahnya.
Toro, yang mo masuk amprokan ama Puji yang mo keluar jemur sepatunya yang belum sempat kering dari rumah. Badan Toro yang kurus terpental lima meter dari badan Puji yang yang besar dan kokoh bak tembok Beton pelabuhan Loktuan. Anak-anak yang di dalam kelas ikut-ikutan kelimpungan. Cewek-cewek buruan ngambil harta bendanya yang tersisa di atas meja teman dan kembali ke bangku masing-masing.
Tapi, Ups!!! Ada yang belum rapi. Taplak mejanya. Dan vas bunganya yang tadi jatuh karena kena lemparan penghapus papan pas anak-anak maen lontar jumroh. Yang paling dekat dengan meja guru nyadar diri. Merapikan dengan kecepatan sepersekian detik lalu kembali duduk rapi. Dan komplit. Siapa bilang?!!! Masih ada yang nggak beres. Siapa sih yang tangannya kreatif sekali, sampe papan tulis penuh pemandangan abstrak? Yaitu yang juga teriak-teriak nyanyiin lagu, Aku di sini... kau di dekatnya Jamiiiiilah...,” pake suara serak-serak nggak basah. Oh, ternyata Brocos, anak loktuan itu. Meski duduknya paling belakang, dia tetep nyadar mo ngakuin kesalahan dan bersedia bertanggung jawab setelah didesak oleh keluarga si korban (emangnya mencelakai anak gadis Pak erte!). Diambilnya penghapus yang tergeletak di ruang depan, lalu, set set set!!!
Papan tulis kembali hitam.  
Hening.
Lima detik, sepuluh detik...
Masih hening.
Dua puluh detik...
Anna, teman cewek, yang penasaran, memanjangkan lehernya agar bisa memandang ke luar jendela, ”Mana Pak Manto-nya?” tanyanya dalam hati. Kedua tangannya masih terlipat dengan rapi di atas meja. ”Jangan-jangan anak-anak boong, lagi?” dia jadi sangsi.
Dan ternyata Asrin memang benar. Benar boongnya. Cuma mo bikin panik anak-anak. Malah dia tertawa paling keras merayakan keberhasilannya bikin orang dag-dig-dug.
”Kamu sukses, Srin ngerjain kita. Dan sebagai hadiahnya terimalah pemberian kami. Tunggu ya!” kata Fadly sambil berjalan menuju papan tulis. Apa yang hendak dilakukannya? Dan anak-anak memperhatikan Fadly dengan seksama.
”Teman-teman, ambil kapur masing-masing... serbu...!!!!!!” Fadly beri komando. Anak-anak paham dan serasa terhipnotis menuju papan tulis ambil kapur satu-satu.
Siapa yang mau kena sambit bertubi-tubi?! Makanya, sebelum anak-anak berhasil mendapatkan amunisi, Asrin langsung kabur.
Kapur berterbangan menuju pintu. Asrin kabur untuk yang kedua kalinya dengan modus yang berbeda.
”Begitulah hukuman bagi orang yang usil. Harus segera menyingkir dari bumi KI tercinta.” Fadly bersabda, dan disambut dengan gegap gempita oleh hampir seluruh rakyat KI,
”Hidup Fadly... hidup Fadly...!”
Tangan mereka mengepal ke udara, kayak logo ekstra joss.  
Si Asrin yang mo ke kantin langkahnya terhenti belum jauh dari kelas. Diliatnya sosok yang berjalan penuh kharisma di ujung sana. Siapa ya? Siapa ya wujud yang ketika melangkahkan kakinya di permukaan bumi terpancar aura ketakutan bagi murid-murid kimia yang melihatnya? Kedua tangannya saling bertemu di balik bokong.
Tak salah lagi, beliaulah yang bernama Pak Manto. Kabuuuuur!
Asrin berlari seperti tadi. Kencang-kencang disertai kalimat-kalimat yang tak asing lagi, ”Ada guru, ada guru!”
Dan kali ini anak-anak tetap kaget. Tapi kekagetannya tak bertahan lama, hanya selangkah anak-anak bergerak, malah ada yang nggak gerak sama sekali, setelah anak-anak sadar bahwa pendosa itu lagi. Basi tauk!
”Nah, sekarang saatnya, Pad!” Bimo memekik.
”Saatnya apa?”
”Bukankah kita hendak menghakimi pendosa itu, Raja!” kata Bimo lagi tapi nggak memekik. Tapi kayak yang di pilm ular-ulannya Indosiar.
”Kau cepatlah ambil kapur, Bim. Biar aku yang berjaga di depan pintu,” Restu bernafsu. Dia menuju pintu dan berperan sebagai pengganti pintu. Direntangkannya ke dua tangan dan kakinya sehingga siapaun tak akan bisa menerobos pintu, kecuali banteng. Ato gurunya, Tong Sam Chong.
Anak-anak masih dalam keadaan ribut-ribut ketika ada terlihat ujung kepala berrgerak di jendela sana. Pak Manto menuju kelas, dan sempat banyak yang ngeliat. Dengan tenang, pura-pura tak terjadi apa-apa, duduk di bangku dengan manis.
Giliran Udin, yang tak menyadari firasat buruk itu, maju ke depan papan tulis menggantikan Fadly yang mo bacain pasal yang akan dijatuhkan kepada Asrin, sang pendosa. Fadly duduk di bangkunya. Restu dengan setia masih di pintu.
Udin berlagak seperti membuka gulungan kertas kerajaan. Dia menghadap ke anak-anak siap membacakan pasal-pasal itu.
”Harap tenang! Tenang!” pinta Udin. Perlahan anak-anak jadi tenang. Nggak ada suara-suara lagi. Udin bangga titahnya dipatuhi. Padahal sosok Pak Manto telah eksis di belakang Restu. Makanya anak-anak pada diam.
Ceritanya ada kertas di depan Udin yang dibaca. Dia mulai berceloteh ibarat pasukan kerajaan membacakan sayembara di depan khalayak. Sebenernya Toro kasi kode, tapi Udin tak mengerti.
Pas Udin sempat nengok ke arah kirinya, mo meyakinkan bahwa Restu masih setia, diliatnya sosok pake seragam dinas PNS. Udin sekilas cuek untuk kembali ke kertas boongan yang mo dilanjut baca tapi sedetik kemudian otaknya baru merespon. Nengok lagi. Tepat dia lah Pak Manto sedang menahan tawa.
Udin dengan lemas kembali ke bangkunya. Restu malah mendongkol.
”Woi, Udin. Kenapa kau rupanya? Belum selesai! Ayo baca terus. Apa hukumannya? Woi Udin tato!”
Ketika Restu mo ngomong lagi, tiba-tiba saja kakinya terasa ada yang tendang. Restu pasti kaget dan buru-buru ambil jurus siap-siap membalas serangan dari arah belakang itu.
Satu kata yang keluar dari mulut Pak Manto, ”Alah... ka-mu!”  

***

5 komentar:

  1. hahahahhaaaa.... cerita ini klo ga salah emang udah ada d FB ya? tp tetep oke lho :D dan aku masih ga percaya klian dengan pedenya kenalan cewek2 AK. GOOD JOB!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Tom, quh pindahin biar blognya kita rame kayak permen nano2 ya...

      mana berani kita kenalan, Tom... cuma ngarang aja ini. Tapi bener kok kita yg cowoknya pernah godain anak analis sampe kita dicuekin ;-(

      Hapus
  2. untung aku diam2 aja godainnya jd nd masuk dalam sekenario hasdar... lumayan dapat no hp nya devy aseeekkkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. masa iya? tapi cuma dpt nmernya ya, gk dapat orgnya... wkwkw

      Hapus
  3. kelanjutannya dy nd mw dipublikasikan dar, cukup aku ma dy yg tw aseeekkekkk

    BalasHapus

Kalo mau komentar2 langsung aja cuyy