Oleh: H. Yahya
Sudah jam sembilan pagi. Tapi sosok yang bernama guru belum nongol. Guru kimia yang akan ngisi
pelajaran di jam pertama dari tadi ditunggu-tunggu oleh anak-anak yang baru aja
pake seragam putih abu-abu.
Murid baru itu
beraktifitas beraneka rupa biar nggak bete. Tiga cewek, yang sepertinya berasal
dari SMP yang sama, sedang bergosip. Cewek lain ngobrol ringan aja, nggak kayak
yang lagi asik ngegosip itu yang pake terbahak segala. Ada juga cewek yang
kalem.
Kalo yang cowoknya main ribut-ributan.
Biasalah, cowok.
Menunggu adalah perkerjaan paling
membosankan di dunia. Kata siapa? Kata banyak orang. Tapi tak selamanya perkataan itu
berlaku. Buktinya, cowok-cowok yang pada nongrong di depan pintu nggak keliatan
bosan kok. Karena ada kegiatan samblian yang mereka bisa lakuin, ngegodain anak
cewek kelas sebelah: kelas Analis, yang secara kebetulan juga ditinggal kosong
pelajaran.
“Suit, suit… Ipit, godain kita dong!” Toro yang memulai. “Pit… pit… pit…! Aduh beningnya!”
”Ha ha ha...!”
teman-teman lain pada ketawa.
Si Ipit, yang jadi
bahan godaan, menengok dengan tatapan tajam. Berusaha menemukan
orang yang tadi memanggilnya. Tak didapatnya makhluk itu.
”Eh, eh, siapa sih
yang tadi teriakin?” tanya Ipit pada temannya. Geer sebenernya.
”Mungkin yang
kurus itu, kali. Yang item.”
”Ha ha ha...!”
cewek-cewek analis nggak mau kalah, ketawa juga. Ada yang ngikik kayak Mak
Lampir menang lotre. Dan langsung dibalas dengan ”Wu... u...” oleh cowok-cowok
penggoda yang lagi duduk jongkok di tepi got.
Tapi seribut-ributnya orang yang ribut,
Restu lebih ribut lagi. Anak KI yang berasal dari Medan
ribut-ribut menyombongkan dirinya paling ganteng. Padahal nggak. Teman-temannya
panas-panasin, ”Buktikan dengan ngajakin kenalan cewek Analis kalo memang kamu
ganteng!”
Dibilang ganteng
siapa yang tak sudi. Kecuali yang tak mau. Dan tak disangka, orang yang barusan
memproklamirkan dirinya sebagai yang terganteng menyanggupi tantangan itu.
Restu benar-benar ingin ngebuktiin. Nekat juga tuh anak.
Dan dari tempat
anak-anak jongkok, diliatnya Restu menyalami satu-satu cewek analis itu.
Anak-anak langsung iri mo kenalan juga. Tapi malu-malu. ”Restu aja bisa, masak
aku tidak,” batin seseorang. ”Padahal dia kan muridnya Tong Sam Cong, yang
berbulu itu.”
Restu kembali
kepada teman-temannya dengan sejuta senyum. Tanpa diminta, dia dengan senang
hati melaporkan hasil kunjungannya. ”Yang ada tai lalatnya itu namanya Nevy,
dia anak Samarinda rupanya. Yang manis itu namanya Agustini. Yang kece namanya
Fitriyani. Yang rambutnya terurai namanya Madonna. Trus yang pake bando namanya
Ika. Puas kalian? Sekarang gantian giliran kau, Srin! Kau yang paling banyak
omong!” suruhnya kemudian.
Asrin langsung
bangkit. Anak-anak jadi terkagum-kagum. Tapi kemudian...
”Lho, Srin, mau ke
mana? Kelasnya analis di situ!” kata Fadli meralat pergerakan
Asrin yang melawan arah.
”Mau ke wese
dulu,” kilah Asrin sambil tersenyum licik.
”Kau coba, Pad?”
Restu kembali menyuruh. Yang di suruh langsung bangkit juga kayak Asrin.
Anak-anak kembali
terkagum-kagum atas keberanian Fadly.
Fadly berjalan
dengan pede menuju kelas analis. Tapi... tapi apa? Jangan-jangan kayak Asrin
juga, berputar ke WC. Nggak sih, tapi Fadly jalannya nggak ngelewatin koridor.
Dia malah berjalan menepi di tepi got. Nggak berani deket-deket cewek analis
dan nggak mampir dikelas mereka. Malah jalan terus.
”Woi, Pad. Udah
lupa ya kelasnya analis yang mana. Kan kamu tadi yang tunjukin ke Asrin. Woi,
woi...!” Si Bimo teriakin.
Tapi Fadly cuek
bebek dan terus berjalan. Dan di ujung koridor sana dia sudah nggak keliatan.
Tapi tiba-tiba muncul di belakang anak-anak sambil ketawa-ketawa. Tadi cuma
putar 4 kelas.
”Katanya mau kenalan.”
”Nggak jadi, Gus. Soalnya aku jadi ingat pepatah, ’Bila ada kata-kata saya yang salah jangan
di simpan dalam-dalam,’”
Wuuuu...! apa
hubungannya. Kecewa pembaca!
Sementara
cowok-cowok KI ber wu wu ria, ternyata cewek-cewek analis yang masih demen di
depan kelasnya juga lagi ngegospin mereka.
”Norak ya, mereka.
Kayak nggak pernah liat perempuan aja.”
”Iya ya...”
”Lama-lama aku
jadi risih juga. Soalnya kesannya kelas kita jadi pelampiasan mereka.
Mentang-mentang kelas mereka nggak ada cewek cantiknya.”
”Iya ya...”
”Iya, liatin aja
tuh. Yang tadi kenalan, geernya minta ampun.”
”Gara-gara kamu
sih, Fit, yang ngusulin terima bubuhan mereka. Kan yang lainnya jadi mau juga.
Kita pang yang jadi bahan perjudian. Pasti bubuhan mereka lagi taruhan siapa
yang berhasil kenalan dibeliin sanggar.” Ujar Nevy.
”Iya, ya...”
”Makanya nggak
usah diladenin lagi.”
”Iya, ya...”
”Ih... apa sih iya
ya iya ya aja.”
“Hei! ngapain sih,
Pik, kamu gabung sama kita-kita! Malah tambah bikin kelas kita dikacangin. Sana
gabung sama cowoknya. Kamu kan cowok. Malu-maluin aja, ihhh!” sembur Fitriyani
pada Topik yang ternyata, dengan manisnya ikut jongkok di tengah-tengah cewek
kece itu. Topik langsung nurut.
O ya, pembaca tadi
dengernya cewek analis ngomong-ngomong bahwasanya kemerdekaan adalah hak segala
bangsa, eh maksudnya bahwa mereka ngata-ngatain cewek di kelas KI nggak ada
yang cantik. Wah sialan mereka, berani-beraninya berkata jujur. Sumpah, kalo
ketemu sama orang yang bilang nggak yang cantik ntar aku sendiri yang bilangin
ke dia, ”Kamu kok tega amat nggak mau berbohong demi kebaikan orang!” hehehe...
becanda. Jangan salah. Cewek kelas KI juga cantik-cantik
kok. Terutama ada satu yang paling cantik. Yaitu yang salah satu dari tiga
cewek yang asik ngegosip di dalam kelas. Hehehe, piss.
Giliran Waluyo
yang menuju anak analis. Wong jowo satu nih, lebih nekat dari Restu. Iya,
Waluyo dengan seyakin-yakinnya bakal mendapat sambutan hangat sehangat mentari
yang mulai tinggi mengulurkan tangan dan nggak ada yang menyambut
perkenalannya. Karena kesel bin kecewa nggak digubris, akhirnya Waluyo ambil
tindakan sendiri. Diraihnya tangan Ika dengan paksa, ”Kenalin, namaku Waluyo,
dhari blitar,” logat jawanya sangat medok.
Bukannya dapat
balasan bae-bae dari perbuatannya yang bisa saja mendapat kasus perbuatan tidak
nyaman, Ika malah bangkit, menarik tangannya lalu menghadiahi wong jowo itu
dengan cap telapak tangan panas di wajah,
Plak...!
Oh, Tuhan…. Waluyo
ditampar.
“Wuahahaha…!” tawa
membahana teman-teman di sana menghambur.
Waluyo kembali
dengan membawa kehinaan yang tiada tara. Tapi toh
teman-temannya nggak merasa terhina. Malah terhibur dapat potongan adegan
sinetron gratis. ”Kurang ajjar, wong eddhan. Asu e!”
Anak-anak masih
menyisakan tawa. Terpingkal-pingkal. Malah pada
ngeluarin air mata.
Tepat setelah tawa
anak-anak mulai mereda, datang Asrin dari arah tadi ngeloyor kabur, berlari
kayak diuber hantu. Bimo yang pertama liat. Terbelalak. Teman-teman yang pada
liatin Bimo penasaran pula dan ikut melihat ke arah pandangan Bimo. Kenapa
tuh??? Ada apa sih?
Pas dekat, dengan
tanpa mengundur gas, Asrin langsung masuk kelas sambil berkata, ”Ada guru, ada
guru. Pak Mantooooooo!”
Kontan suara
gemuruh langsung menggema. Anak-anak berhamburan menuju kelas dengan rasa
takut. Si Bagus kakinya kecebur got, terjadi kesalahan landing. Mana aernya
butek, lagi. Udin, yang jangkung, ketika bangkit langsung menanduk dagu Hans
Perdana yang dari tadi berdiri di belakang Udin, tanpa tanggung-tanggung.
”Adjeeh!” Hans menggigit lidahnya.
Toro, yang mo
masuk amprokan ama Puji yang mo keluar jemur sepatunya yang belum sempat kering
dari rumah. Badan Toro yang kurus terpental lima meter dari badan Puji yang
yang besar dan kokoh bak tembok Beton pelabuhan Loktuan. Anak-anak yang di
dalam kelas ikut-ikutan kelimpungan. Cewek-cewek buruan ngambil harta bendanya
yang tersisa di atas meja teman dan kembali ke bangku masing-masing.
Tapi, Ups!!! Ada
yang belum rapi. Taplak mejanya. Dan vas bunganya yang tadi jatuh karena kena
lemparan penghapus papan pas anak-anak maen lontar jumroh. Yang paling dekat
dengan meja guru nyadar diri. Merapikan dengan kecepatan sepersekian detik lalu
kembali duduk rapi. Dan komplit. Siapa bilang?!!! Masih ada yang nggak beres.
Siapa sih yang tangannya kreatif sekali, sampe papan tulis penuh pemandangan
abstrak? Yaitu yang juga teriak-teriak nyanyiin lagu, Aku di sini... kau di
dekatnya Jamiiiiilah...,” pake suara serak-serak nggak basah. Oh, ternyata
Brocos, anak loktuan itu. Meski duduknya paling belakang, dia tetep nyadar mo
ngakuin kesalahan dan bersedia bertanggung jawab setelah didesak oleh keluarga
si korban (emangnya mencelakai anak gadis Pak erte!). Diambilnya penghapus yang
tergeletak di ruang depan, lalu, set set set!!!
Papan tulis kembali hitam.
Hening.
Lima detik,
sepuluh detik...
Masih hening.
Dua puluh detik...
Anna, teman cewek,
yang penasaran, memanjangkan lehernya agar bisa memandang ke luar jendela,
”Mana Pak Manto-nya?” tanyanya dalam hati. Kedua tangannya masih terlipat
dengan rapi di atas meja. ”Jangan-jangan anak-anak boong, lagi?” dia jadi
sangsi.
Dan ternyata Asrin
memang benar. Benar boongnya. Cuma mo bikin panik anak-anak. Malah dia tertawa
paling keras merayakan keberhasilannya bikin orang dag-dig-dug.
”Kamu sukses, Srin
ngerjain kita. Dan sebagai hadiahnya terimalah pemberian kami. Tunggu ya!” kata
Fadly sambil berjalan menuju papan tulis. Apa yang hendak
dilakukannya? Dan anak-anak memperhatikan Fadly dengan seksama.
”Teman-teman,
ambil kapur masing-masing... serbu...!!!!!!” Fadly beri komando. Anak-anak paham dan serasa terhipnotis menuju papan tulis ambil kapur
satu-satu.
Siapa yang mau
kena sambit bertubi-tubi?! Makanya, sebelum anak-anak berhasil mendapatkan
amunisi, Asrin langsung kabur.
Kapur berterbangan
menuju pintu. Asrin kabur untuk yang kedua kalinya dengan modus yang berbeda.
”Begitulah hukuman
bagi orang yang usil. Harus segera menyingkir dari bumi KI tercinta.” Fadly
bersabda, dan disambut dengan gegap gempita oleh hampir seluruh rakyat KI,
”Hidup Fadly...
hidup Fadly...!”
Tangan mereka
mengepal ke udara, kayak logo ekstra joss.
Si Asrin yang mo
ke kantin langkahnya terhenti belum jauh dari kelas. Diliatnya sosok yang
berjalan penuh kharisma di ujung sana. Siapa ya? Siapa ya wujud yang ketika
melangkahkan kakinya di permukaan bumi terpancar aura ketakutan bagi
murid-murid kimia yang melihatnya? Kedua tangannya saling bertemu di balik
bokong.
Tak salah lagi,
beliaulah yang bernama Pak Manto. Kabuuuuur!
Asrin berlari
seperti tadi. Kencang-kencang disertai kalimat-kalimat yang tak asing lagi,
”Ada guru, ada guru!”
Dan kali ini
anak-anak tetap kaget. Tapi kekagetannya tak bertahan lama, hanya selangkah
anak-anak bergerak, malah ada yang nggak gerak sama sekali, setelah anak-anak
sadar bahwa pendosa itu lagi. Basi tauk!
”Nah, sekarang
saatnya, Pad!” Bimo memekik.
”Saatnya apa?”
”Bukankah kita
hendak menghakimi pendosa itu, Raja!” kata Bimo lagi tapi nggak memekik. Tapi
kayak yang di pilm ular-ulannya Indosiar.
”Kau cepatlah
ambil kapur, Bim. Biar aku yang berjaga di depan pintu,” Restu bernafsu. Dia
menuju pintu dan berperan sebagai pengganti pintu. Direntangkannya ke dua
tangan dan kakinya sehingga siapaun tak akan bisa menerobos pintu, kecuali
banteng. Ato gurunya, Tong Sam Chong.
Anak-anak masih
dalam keadaan ribut-ribut ketika ada terlihat ujung kepala berrgerak di jendela
sana. Pak Manto menuju kelas, dan sempat banyak yang ngeliat. Dengan tenang,
pura-pura tak terjadi apa-apa, duduk di bangku dengan manis.
Giliran Udin, yang
tak menyadari firasat buruk itu, maju ke depan papan tulis menggantikan Fadly
yang mo bacain pasal yang akan dijatuhkan kepada Asrin, sang pendosa. Fadly
duduk di bangkunya. Restu dengan setia masih di pintu.
Udin berlagak
seperti membuka gulungan kertas kerajaan. Dia menghadap ke anak-anak siap membacakan pasal-pasal itu.
”Harap tenang! Tenang!” pinta
Udin. Perlahan anak-anak jadi tenang. Nggak ada
suara-suara lagi. Udin bangga titahnya dipatuhi. Padahal sosok Pak Manto telah
eksis di belakang Restu. Makanya anak-anak pada diam.
Ceritanya ada
kertas di depan Udin yang dibaca. Dia mulai berceloteh ibarat pasukan kerajaan
membacakan sayembara di depan khalayak. Sebenernya Toro kasi kode, tapi Udin
tak mengerti.
Pas Udin sempat
nengok ke arah kirinya, mo meyakinkan bahwa Restu masih setia, diliatnya sosok
pake seragam dinas PNS. Udin sekilas cuek untuk kembali ke kertas boongan yang
mo dilanjut baca tapi sedetik kemudian otaknya baru merespon. Nengok lagi. Tepat dia lah Pak Manto sedang menahan tawa.
Udin dengan lemas kembali
ke bangkunya. Restu malah mendongkol.
”Woi, Udin. Kenapa
kau rupanya? Belum selesai! Ayo baca terus. Apa hukumannya? Woi Udin
tato!”
Ketika Restu mo
ngomong lagi, tiba-tiba saja kakinya terasa ada yang tendang. Restu pasti kaget dan buru-buru ambil jurus siap-siap membalas serangan
dari arah belakang itu.
Satu kata yang
keluar dari mulut Pak Manto, ”Alah... ka-mu!”
***
hahahahhaaaa.... cerita ini klo ga salah emang udah ada d FB ya? tp tetep oke lho :D dan aku masih ga percaya klian dengan pedenya kenalan cewek2 AK. GOOD JOB!!
BalasHapusIya, Tom, quh pindahin biar blognya kita rame kayak permen nano2 ya...
Hapusmana berani kita kenalan, Tom... cuma ngarang aja ini. Tapi bener kok kita yg cowoknya pernah godain anak analis sampe kita dicuekin ;-(
untung aku diam2 aja godainnya jd nd masuk dalam sekenario hasdar... lumayan dapat no hp nya devy aseeekkkkk
BalasHapusmasa iya? tapi cuma dpt nmernya ya, gk dapat orgnya... wkwkw
Hapuskelanjutannya dy nd mw dipublikasikan dar, cukup aku ma dy yg tw aseeekkekkk
BalasHapus