Dikarang Oleh: H. Yahya
Memang hari Sabtu adalah
hari yang biasanya mendebar-debarkan. Bagi para kaula yang punya plening
ngapelin ceweknya ntar malam. Tetapi hal ini tak lantas berlaku buat anak-anak
kece yang lagi bete ngedengerin penjelasan pelajarannya Pak Wisnu dalam kelas. Proses
Industri Kimia.
Si Restu misalnya, yang
asli paling sota dan sok ganteng, dengan sejuta harapan bel pulang yang bunyinya
mirip bel penjual es konelo segera dibunyiin, doi memandang kosong pada papan
tulis yang penuh rumus-rumus antah berantah. Namun tahukan Anda bahwa dia
memperlihatkan mimik serius dari guratan wajahnya yang sama sekali nggak
ganteng itu? Yah, memang begitu. Namanya juga makhluk sota.
Nggak hanya Restu, hampir
semua murid, malah. Kecuali seorang murid cewek yang pake jilbab. Dengan
mimiknya yang bener-bener serius. Serius mengharap segera bel berbunyi. Hehehe.
Tapi emang bener kok! Yang saya maksud itu adalah Rosni, cewek pake jilbab nan
cindut (centil-centil ndut dikit). Dan cewek yang lain yang termasuk kategori
pake jilbab; sebangsa Anna, Jamilah, Destri, Sakirah dan Eka, naujubillah
paling bete. Jamilah sibuk
menggigit-gigit kepala pensil dua be.
Tatapan mereka hampa
memandang papan tulis. Sehampa penjelasan Pak Wisnu yang nggak masuk-masuk ke otak.
Sehampa pula cowok-cowok kece ini yang nggak pada punya pacar resmi (kalo cewek
yang dibangga-banggain sih ada. Misalnya si Muklis sukanya ama Marshanda, Puji
Eko sukanya ama Agnes Monica, dan Restu yang sukanya ama Bu Sue, guru Bahasa
Inggris yang pernah digodain) untuk diapelin, yang semakin membuat malam Minggu
nanti semakin hampa.
Makanya, kata-kata mutiara seperti “Hari
Sabtu Adalah Hari Mendebar-debarkan” sama sekali nggak kebukti diliat dari
sudut pandang cowok-cowok yang pada bete ini. Habis mo ngapelin siapa?
Marshanda yang saat ini ada di Jakarta?
Ya sukur-sukur kalo kamu ngeliat si Muklis disambut, minimal oleh pembantunya.
Yang ada malah kamu-kamu akan ngeliat dia dikira mo minta sumbangan untuk acara
17an. Niscaya dia akan dikira penipu. Kan 17an baru beberapa hari lewat.
Tetapi kebetean anak-anak langsung dibayar
impas oleh suara bel yang tiba-tiba memekik.
“Yeeeee…!” itu adalah suaranya Restu dengan
sedikit kolaborasi suara anak-anak lain. Memadu dalam suka cita. Kontan saja
Pak Wisnu jadi kaget. Beliau langsung menghentikan pelajaran.
Anak-anak bergegas.
Merapikan buku dan pulpen. Masuk dalam tas. Pak Wisnu minta diri dan memberi
salam perpisahan, “Slamat Siang!”
Riuh langsung terdengar
pasca lenyapnya Pak Wisnu dari kelas. Macem-macem suara. Si Bimo
gendang-gendang meja dan penuh irama, disambut oleh Brocos dengan suara
emasnya, “Lewat telepon surat faksimili… ngobatin rindoku…!” dan Restu tak mau
kalah. Dia menyambung lirik lagu itu, “Kirim juga, poto ukuran bugil, biar
nanti kupa-jang di we-se-kuuuu…!”
Bukannya anak-anak terhibur (lagian mana
pernah ada yang terhibur kalo Restu bernyanyi ria!). Terutama cewek-cewek yang
pada keki berat. “Wuuu…. Dasar lanji!”
“Norak, norak…!”
“Nggak sopan!”
“Mulutmu…!”
“Otak porno!”
“Kacang-kacang, seribu
sebungkus!” Lho???
Bak gayung bersambut, tak hanya
umpatan-umpatan yang anak-anak kasi sebagai bentuk protes keras atas omongan
Restu yang tak senonoh, kertas-kertas pun menghujaminya.
Tapi Restu cuek sambil dengan senyum khasnya
menghias di wajah.
Satu-satu anak-anak
ninggalin kelas.
Sudah semakin sepi dari cowok-cowok. Tinggal
semua ceweknya, dan bau keringatnya anak-anak cowok. Tapi Eka dan Anna nggak
tinggal lama. Setelah liat jam imut di lengan sebelah kirinya, Anna pun tarik
tangan Eka. Sudah jam 2 siang. Kedua cewek ini ada rapat di ruang OSIS. Tapi cewek-cewek
yang masih betah itu pada mo ngapain ya, kok belum minggat? Padahal tadi hampir
ada yang bernazar mo puasa kalo setelah bel, Pak Wisnu belum mau keluar.
Giliran udah pulang, e eh… asik ngerumpi. Dasar Muna. Munapik!!!
“Gimana, Des, rencananya. Jadikah?” Tanya
Tompul. Tompul itu adalah sejenis nama orang. Dan berjenis kelamin cewek, namun
sekelilas mirip cowok.
“Siplah, Tom. Pokoknya kalian semua tinggal
datangnya aja. Bahan-bahan udah kita siapin.”
“Memangnya mau bikin apa
sih?” Rosni penasaran karena pas keluar main, dia nggak ikut rapat di kantin.
Sibuk baca buku pelajaran terus dalam kelas.
“Ya, mau bikin yang
murah meriah aja, Ros. Kamu juga harus datang ya!” Kata Yulidar.
Diana, Marlina, Kartini,
yang satu kelurahan, udah duluan minta maap. Urusan nginap, sory dulu deh.
“Rumah kita kan jauh,” Diana kasi alasan. Menyusul pula Rosni dan Sarkiah yang nggak
bisa ikut. Tampak kekecewaan, terutama pada wajah Yulidar.
“Kok kalian gitu sih.
Tega sama aku. Plis kali ini aja. Masak sedikit aja anak-anak yang datang nginap. Kan
kalian sudah tau kalo tetangga sebelah rumah, baru aja meninggal gantung diri
di dalam kamarnya gara-gara uangnya di Bank Century ndak dikembalikan. Bagaimana
coba kalo tiba-tiba mayatnya bangkit? Siapa yang mau bantuin teriak? Terus kan
kita bisa sambil main joker. Pokoknya tenang deh masalah logistiknya. Seperti
yang Destri bilang, sudah siap. Tinggal datangnya aja. Kita mau bikin “kambeng
lasuna” (tepung yang dibuat adonan dan ditambah bawang merah. Cara bikinnya
sama kayak bikin bakwan, cuma ini nggak pake cetakan. Makanya bentuknya
sembarangan, kayak mukanya Restu). Tutur Yulidar sangat mengharap. Bak
boomerang, justru harapanya tak akan terwujud oleh penuturannya sendiri. Siapa suruh
malah cerita horor. Dia tiada menyadari bahwa baru aja dia mematahkan secuil
harapan anak-anak yang tinggal sebatang kara. Semakin mantaplah keengganan mereka
untuk nggak gabung. Tiba-tiba toka.
“Ih, amit-amit ketemu
sama setan,” benak Diana, ”sama Restu aja aku udah ogah!” lanjutnya.
Akhirnya yang jadi
nginap di rumah Yulidar cuma empat orang; Destri, Tompul, Jamilah dan Sumi.
* * *
Di bawah langit kilo 6, keadaan
sunyi senyap. Malam hari ini tak banyak suara-suara mengasyikkan, selain
tik-tik-tik bunyi hujan di atas genteng. Rinai hujan menyelimuti suasana.
Bintang pun nggak ada yang nongol.
Kabar duka perihal
meninggalnya salah satu warga RT 20, ternyata sangat dihayati oleh para orang
tua. Mereka melarang anak-anaknya bermain selepas magrib. Cepat-cepat disuruh
tidur.
Dan setelah orang-orang pulang
dari masjid, abis sholat isha, anak-anak bersembunyi di dalam pelukan Emaknya,
mencari tempat persembunyian yang hangat. Lolongan anjing membuatnya kengerian.
Kilat sekali-kali menyambar. Sekilas bumi
tampak benderang oleh cahaya yang menyeruak. Lalu gelap lagi. Menyusul suara gemuruh
guntur mengetuk
jantung. Keras. “Bumm…!” Ibu-ibu mendekap bayinya penuh kehangatan. Suaminya
jadi iri.
Destri, Jamilah dan Yulidar berada dalam satu
selimut di atas sofa panjang depan tipi. Lagi nonton berita kasus Bank Century
di tipi wan. Mereka membisu, serius memusatkan perhatiannya pada benda
berbentuk kotak di depannya itu ato larut dalam pikiran nggak-nggaknya dengan kemunculan
orang yang abis bunuh diri secara tiba-tiba. Gara-gara Bank Century. Hihhh
“Malam ini malam minggu. Tapi kok kayak malam
jumat kliwon ya? Kalem dan ngeri.” Tanya Jamilah dalam hati. Dan hatinya sekonyong-konyong
mengisyaratkan untuk melihat ke jendela. Wajahnya pun memandang ke sana. Oh, jendelanya belum
ditutup. Gordennya menari-nari tersapu angin. Serasa jemari setan
memanggil-manggil. Dia bangkit menuju jendela itu. Destri dan Yulidar
bertanya-tanya dalam hati mo ngapain sih Jamilah, sambil pandangannya mengikuti
langkah Jamilah. “Ooo, mau nutup jendela,” benak Destri dan Yulidar. Jamilah
pun kembali dengan berlari-lari kecil. Kembali menyelimuti badan.
Di rumah, mereka cuma bertiga. Keluarganya
Yulidar keluar kota
semua. Dan Yulidar disuruh jaga rumah, dengan alasan pamali rumah ditinggal
kosong melompong sedangkan tetangga sebelah baru aja diwisuda oleh Malekat
Izrail dan mendapat gelar Alm. Apa boleh buat. Makanya tadi pas di sekolah sampe
bersujud segala memohon minta ditemenin nginap banyak-banyak. Tadi sih Brocos
dengan senang hati mo nemenin. Tapi Nowei! Haram ada laki-laki yang bukan
muhrim di rumahnya.
“Des, kok Tompul sama
Sumi belum ada datang, ya?” Tanya Jamilah yang duduk ditengah-tengah. Mukanya pucat dan jantungnya berdebar-debar.
“Iya. Jangan-jangan
dihadang di jalanan. Jangan-jangan…?”
“Aaaaaaaah…!” Jamilah dan Yulidar berpelukan.
“Hushhh…! Apa-apaan sih.” Destri menyela
berusaha menenangkan suasana. Sebenarnya perasaannya juga kacau. Daritadi mau
pipis.
“Des, panggil aja
cowokmu suruh temenin kita!” pinta Jamilah.
“Ah, ndak boleh. Pokoknya
kalo itu ndak boleh,” potong Yulidar, “apa nanti kata tetangga kalo liat ada
cowok yang masuk ke rumah ini? Terus dilaporin sama mama ajiku?”
“Bagas udah tidur,” kata
Destri dengan cuek.
Guntur kembali bergaung.
Jamilah
dan Yulidar kaget, “Ya ampao!” tapi Destri tenang-tenang aja. Bukan apanya,
kalo dia ikut-ikutan kaget. Bisa-bisa sofa jadi basah. Pipis. Makanya mati-matian
dia selalu siap-siap menghadapi suara guntur.
Setelah itu mereka
berusaha menenangkan diri dan membuang jauh-jauh pikiran horor itu.
Nggak lama, telpon di
sudut-sudut ruangan berdering, “Telelelelet…
telelelelet…” anak-anak jadi kaget. Saling berpandangan penuh tanya. Tapi
telepon langsung mati. Anak-anak bernafas lega.
“Telelelelet…telelelelet…!” telpon berdering lagi. Anak-anak kembali kaget. Yulidar merapatkan
badannya ke Jamilah.
“Des, angkat dong!”
Jamilah memohon.
“Kamu aja. Aku mau
pipis.” Destri langsung berlari menuju belakang. Udah nggak tahan.
“Dar, kamu dong! Kamu
kan jagoan!” suruh Jamilah lagi.
Yulidar bangkit. Tetapi
sambil menarik lengan Jamilah, “Yuk, sama-sama!”
“Ha-halo… m-mau bicara
sama siapa?” Jamilah yang ternyata ngejawab panggilan itu. Yulidar
bertanya-tanya mudah-mudahan bukan tetangga sebelah yang udah dikubur, lagi iseng
amat mo ngerjain orang karena bete sendiri dikuburan.
Tit. Telepon mati tanpa ada jawaban dari seberang sana
sebelumnya. Jamilah meletakkan gagang telepon lalu mengajak Yulidar berlari
menuju tempat semula. Belum lagi mereka menjatuhkan pantatnya di sofa, telepon
kembali berdering. Mereka kembali ke sana dengan takut-takut. Yulidar sempat
menahan, ”Jam, kok kayak di pilem hantu-hantu, ya?”
“Hoi, kok nggak
diangkat-angkat sih!!!” Sembur
Sumi di seberang telepon. Gagang telepon sampe hampir jatuh dari tangan Jamilah
yang mo ngejawab saking kagetnya.
“Sumi, Dar.” Lirih
Jamilah pada Yulidar.
“Sum, aku Milah. Sudah
di mana?”
“Sebelumnya maaf, Jam,
aku nggak jadi nginap. Sorry ya. Aku dila….”
Ctak…! Jamilah langsung menutup telepon tanpa berkata apa-apa.
Sebel dia.
“...rang. Jam… jam…!” tek-tek-tek. Sumi menekan-nekan tuas
pemutus panggilan dengan keras-keras, “Ye… dimatiin. Biarin, yang penting kan
aku udah bilang maap.”
“Sialan bener si Sumi. Dia nggak jadi
ke sini!”
“Ya mau diapain lagi,
Jam.” Yulidar hanya bisa pasrah. Mereka kembali ke tempat duduk. Dan akan
tetapi, untuk kedua kalinya, sebelum pantat mereka mendarat di sofa, listrik
tiba-tiba padam. Gelap.
“Ahhhhhhh…….!” Jamilah dan Yulidar
menjerit dan kembali berpelukan. Seperti Lala dan Tingkiwingki.
”Jam, kamu di mana?”
tanya Yulidar.
”Aku di belakangmuhhh...!”
jawab Jamilah pake meniru-niru suara Suzzana. Ceritanya mao
nakut-naklutin. Tapi kok dia malah yang takut. ”Lagian ngapain pake nanya sih!
Ato bukan kamu yang aku pegang?”
Mereka langsung
merinding.
* * *
Sebuah taxi menepi di
jalan lebar. Seseorang turun.
Terlihat kedua telinga
orang itu disumbat pake headset, dengan kabel putih yang menjulur sampai
kantong jaket.
Tudung jaketnya menutupi
kepala. Dia berjalan menuju jalan yang lebih sempit. Jalan menuju rumahnya
Yulidar.
Ctek...ctek...ctek... Langkah kaki orang itu bercipratan.
Jalanan memang masih tergenang air walau hujan lebat telah berlalu. Tinggal
rintik.
* * *
”Dar...! mati lampu ya?”
teriak Destri dari dalam WC. ”Nyalain lilin dong! Gelap. Aku belum cebok!”
”Tunggu, Des!” Jawab
Jamilah.
Yulidar berjalan menuju
dapur ditemani Jamilah yang nggak mau misah. Jalannya seperti nenek-nenek peot
yang abis operasi tulang. Penuh awas.
Belum juga dapat korek
dan lilin, terdengar dari beranda depan suara pot jatuh.
”Apa tuh?” Jamilah kaget.
”Denger suara tadi ya, Dar?” lirihnya kemudian.
”Ssst...! Jam, cari
benda-benda tumpul. Kayaknya ada maling mau masuk.”
Jamilah langsung
menurutinya. Diraba-raba sekitar wastafel dapur, dapatnya benda mirip pesawat
UFO. Kalo Yulidar dapat benda yang lebih berat. Kunci Inggris.
”Dapat apa, Jam?”
”Kayaknya ini piring deh.”
”Kamu lapar?”
”Nggak.... nggak salah
lagi.” Lalu Jamilah mencari benda lain yang lebih bisa menyakiti. Dapatnya
kemoceng.
“Daaaaar…! Udah dapet
blom? Lama amaaaaaaaaaaaaaaat!”
”Ussst... Des, jangan
ribut. Ada maling.” Yulidar memberitahu lewat pintu WC. Destri bisa dengar.
”Hah, ada maling?” herannya yang lagi asik ngedon di atas kloset.
Pintu WC kebuka, Destri
buru-buru menyambut lilin yang diangsurkan padanya. Buru-buru cebok. Lalu buru-buru
keluar.
”Matiin, matiin, cepet!”
desak Jamilah. Lilin pun mati. Keadaan yang tadi temaram kembali gelap gulita.
”Eh, beneran ada
maling?” tanya Destri ragu-ragu.
”Kayaknya, Des. Tadi ada
suara-suara di depan.”
“Eh, kamu pasti lupa
kunci pintu depan ya, Jam? Hayo…ngaku!” Destri menuding.
”Jangan nuduh dong, Des.
Kan yang tadi disuruh Yulidar. Tapi dasar dia aja yang males,” Jamilah menampik
asaz praduga tak bersalah itu. Di sampingnya, Yulidar sedang senyum lebar,
”Hehehe... sory, Des!”
”Ayo ke depan!” labrak
Destri.
“Kamu yang di depan,
Jam.” kata Yulidar yang sambil berputar ke belakang. Seperti maen ular naga
panjangnya bukan kepalang: Jamilah, Destri, Yulidar.
”Enak aja, nggak mao.
Destri aja!”
”Ya udah. Biar aku yang
di belakang, Yulidar di depan.” Destri berusaha bijak, tapi demi kepentingan
sendiri.
Dan didapatlah posisi
yang mantap: Yulidar, Jamilah, Destri. Mereka pun jalan beriringan menuju depan
tanpa ada suara-suara.
Tok, tok, tok...! pintu depan diketuk. Tok,
tok, tok…!
Anak-anak semakin berdebar-debar, “Jam, kamu
nanti yang buka pintu ya! Nanti biar aku yang pukul.”
“Ah, nggak mao. Destri aja!”
“Uh… nih anak tuyul
penakut amat sih,” ejek Destri.
”Udah siap, Des?” tanya
Yulidar seraya ambil ancang-ancang bak atlet softball. Kunci Inggris dipegang
dengan kokohnya.
”Tunggu. Nih, jam,
pegang ini dulu!” Destri memberikan timba plastik yang dari tadi dibawanya dari
wese.
”Kita hitung sama-sama,”
pinta Destri siap-siap buka pintu. Tangannya udah di daun pintu. Telah siap
membuka.
”Sa-tu... du-a... ti...”
”Gaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Gludak...!!!
Suara guntur
menyambutnya. Tepat ketika pintu dibuka lebar oleh Destri dan kilat menyambar
pula, terlihatlah sosok orang bertudung jaket dengan wajah cemberut agak jauh di
depan pintu.
”Huwaaaaaaaaaaa........!”
Yulidar dan Jamilah langsung teriak keras-keras seraya berpelukan melihat sosok
penampakan yang jelas sekali terlihat sesaat ketika kilat menyambar. Takut. Kunci
Inggris yang terjatuh dari tangan Yulidar langsung menimpa jempol kaki Destri,
”Hiyaaaaaa.....!”
”Kalian kenapa sih,
ribut-ribut.” Sapa suara di depan pintu itu. Oh, itu suara yang tak asing lagi.
Tompul.
”Eh, Tompul ya?” sambut
Jamilah.
”Bukan. Nike Sitompul!”
jawab Tompul ketus.
Seperempat jam setelah
kedatangan Tompul, lampu telah hidup. Anak-anak langsung senang.
Tidak lama kemudian,
terdengarlah orang ketawa-ketiwi di dapur. Suara adonan tepung dimasukin dalam
minyak goreng panas: berdesis. Mereka saling menceritakan pengalaman yang baru
aja kejadian. Destri paling kasihan, jempolnya nyut-nyutan. Yulidar dan Tompul
paling keras ketawanya. Laler-laler sampe terhisap masuk.
Ternyata benar yah, hari
Sabtu adalah hari yang paling mendebarkan. Hehehe...
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalo mau komentar2 langsung aja cuyy