Minggu, 13 Mei 2012

Hari Sabtu, Paling Mendebarkan!


Dikarang Oleh: H. Yahya

Memang hari Sabtu adalah hari yang biasanya mendebar-debarkan. Bagi para kaula yang punya plening ngapelin ceweknya ntar malam. Tetapi hal ini tak lantas berlaku buat anak-anak kece yang lagi bete ngedengerin penjelasan pelajarannya Pak Wisnu dalam kelas. Proses Industri Kimia.

Si Restu misalnya, yang asli paling sota dan sok ganteng, dengan sejuta harapan bel pulang yang bunyinya mirip bel penjual es konelo segera dibunyiin, doi memandang kosong pada papan tulis yang penuh rumus-rumus antah berantah. Namun tahukan Anda bahwa dia memperlihatkan mimik serius dari guratan wajahnya yang sama sekali nggak ganteng itu? Yah, memang begitu. Namanya juga makhluk sota.
Nggak hanya Restu, hampir semua murid, malah. Kecuali seorang murid cewek yang pake jilbab. Dengan mimiknya yang bener-bener serius. Serius mengharap segera bel berbunyi. Hehehe. Tapi emang bener kok! Yang saya maksud itu adalah Rosni, cewek pake jilbab nan cindut (centil-centil ndut dikit). Dan cewek yang lain yang termasuk kategori pake jilbab; sebangsa Anna, Jamilah, Destri, Sakirah dan Eka, naujubillah paling bete. Jamilah sibuk menggigit-gigit kepala pensil dua be.
Tatapan mereka hampa memandang papan tulis. Sehampa penjelasan Pak Wisnu yang nggak masuk-masuk ke otak. Sehampa pula cowok-cowok kece ini yang nggak pada punya pacar resmi (kalo cewek yang dibangga-banggain sih ada. Misalnya si Muklis sukanya ama Marshanda, Puji Eko sukanya ama Agnes Monica, dan Restu yang sukanya ama Bu Sue, guru Bahasa Inggris yang pernah digodain) untuk diapelin, yang semakin membuat malam Minggu nanti semakin hampa.
Makanya, kata-kata mutiara seperti “Hari Sabtu Adalah Hari Mendebar-debarkan” sama sekali nggak kebukti diliat dari sudut pandang cowok-cowok yang pada bete ini. Habis mo ngapelin siapa? Marshanda yang saat ini ada di Jakarta? Ya sukur-sukur kalo kamu ngeliat si Muklis disambut, minimal oleh pembantunya. Yang ada malah kamu-kamu akan ngeliat dia dikira mo minta sumbangan untuk acara 17an. Niscaya dia akan dikira penipu. Kan 17an baru beberapa hari lewat.
Tetapi kebetean anak-anak langsung dibayar impas oleh suara bel yang tiba-tiba memekik.
“Yeeeee…!” itu adalah suaranya Restu dengan sedikit kolaborasi suara anak-anak lain. Memadu dalam suka cita. Kontan saja Pak Wisnu jadi kaget. Beliau langsung menghentikan pelajaran.
Anak-anak bergegas. Merapikan buku dan pulpen. Masuk dalam tas. Pak Wisnu minta diri dan memberi salam perpisahan, “Slamat Siang!”
Riuh langsung terdengar pasca lenyapnya Pak Wisnu dari kelas. Macem-macem suara. Si Bimo gendang-gendang meja dan penuh irama, disambut oleh Brocos dengan suara emasnya, “Lewat telepon surat faksimili… ngobatin rindoku…!” dan Restu tak mau kalah. Dia menyambung lirik lagu itu, “Kirim juga, poto ukuran bugil, biar nanti kupa-jang di we-se-kuuuu…!”
Bukannya anak-anak terhibur (lagian mana pernah ada yang terhibur kalo Restu bernyanyi ria!). Terutama cewek-cewek yang pada keki berat. “Wuuu…. Dasar lanji!”
“Norak, norak…!”
“Nggak sopan!”
“Mulutmu…!”
“Otak porno!”
“Kacang-kacang, seribu sebungkus!” Lho???
Bak gayung bersambut, tak hanya umpatan-umpatan yang anak-anak kasi sebagai bentuk protes keras atas omongan Restu yang tak senonoh, kertas-kertas pun menghujaminya.
Tapi Restu cuek sambil dengan senyum khasnya menghias di wajah.
Satu-satu anak-anak ninggalin kelas.
Sudah semakin sepi dari cowok-cowok. Tinggal semua ceweknya, dan bau keringatnya anak-anak cowok. Tapi Eka dan Anna nggak tinggal lama. Setelah liat jam imut di lengan sebelah kirinya, Anna pun tarik tangan Eka. Sudah jam 2 siang. Kedua cewek ini ada rapat di ruang OSIS. Tapi cewek-cewek yang masih betah itu pada mo ngapain ya, kok belum minggat? Padahal tadi hampir ada yang bernazar mo puasa kalo setelah bel, Pak Wisnu belum mau keluar. Giliran udah pulang, e eh… asik ngerumpi. Dasar Muna. Munapik!!!
“Gimana, Des, rencananya. Jadikah?” Tanya Tompul. Tompul itu adalah sejenis nama orang. Dan berjenis kelamin cewek, namun sekelilas mirip cowok.
“Siplah, Tom. Pokoknya kalian semua tinggal datangnya aja. Bahan-bahan udah kita siapin.”
“Memangnya mau bikin apa sih?” Rosni penasaran karena pas keluar main, dia nggak ikut rapat di kantin. Sibuk baca buku pelajaran terus dalam kelas.
“Ya, mau bikin yang murah meriah aja, Ros. Kamu juga harus datang ya!” Kata Yulidar.
Diana, Marlina, Kartini, yang satu kelurahan, udah duluan minta maap. Urusan nginap, sory dulu deh. “Rumah kita kan jauh,” Diana kasi alasan. Menyusul pula Rosni dan Sarkiah yang nggak bisa ikut. Tampak kekecewaan, terutama pada wajah Yulidar.
“Kok kalian gitu sih. Tega sama aku. Plis kali ini aja. Masak sedikit aja anak-anak yang datang nginap. Kan kalian sudah tau kalo tetangga sebelah rumah, baru aja meninggal gantung diri di dalam kamarnya gara-gara uangnya di Bank Century ndak dikembalikan. Bagaimana coba kalo tiba-tiba mayatnya bangkit? Siapa yang mau bantuin teriak? Terus kan kita bisa sambil main joker. Pokoknya tenang deh masalah logistiknya. Seperti yang Destri bilang, sudah siap. Tinggal datangnya aja. Kita mau bikin “kambeng lasuna” (tepung yang dibuat adonan dan ditambah bawang merah. Cara bikinnya sama kayak bikin bakwan, cuma ini nggak pake cetakan. Makanya bentuknya sembarangan, kayak mukanya Restu). Tutur Yulidar sangat mengharap. Bak boomerang, justru harapanya tak akan terwujud oleh penuturannya sendiri. Siapa suruh malah cerita horor. Dia tiada menyadari bahwa baru aja dia mematahkan secuil harapan anak-anak yang tinggal sebatang kara. Semakin mantaplah keengganan mereka untuk nggak gabung. Tiba-tiba toka.
“Ih, amit-amit ketemu sama setan,” benak Diana, ”sama Restu aja aku udah ogah!” lanjutnya.
Akhirnya yang jadi nginap di rumah Yulidar cuma empat orang; Destri, Tompul, Jamilah dan Sumi.
* * *

Di bawah langit kilo 6, keadaan sunyi senyap. Malam hari ini tak banyak suara-suara mengasyikkan, selain tik-tik-tik bunyi hujan di atas genteng. Rinai hujan menyelimuti suasana. Bintang pun nggak ada yang nongol.
Kabar duka perihal meninggalnya salah satu warga RT 20, ternyata sangat dihayati oleh para orang tua. Mereka melarang anak-anaknya bermain selepas magrib. Cepat-cepat disuruh tidur.
Dan setelah orang-orang pulang dari masjid, abis sholat isha, anak-anak bersembunyi di dalam pelukan Emaknya, mencari tempat persembunyian yang hangat. Lolongan anjing membuatnya kengerian.
Kilat sekali-kali menyambar. Sekilas bumi tampak benderang oleh cahaya yang menyeruak. Lalu gelap lagi. Menyusul suara gemuruh guntur mengetuk jantung. Keras. “Bumm…!” Ibu-ibu mendekap bayinya penuh kehangatan. Suaminya jadi iri.
Destri, Jamilah dan Yulidar berada dalam satu selimut di atas sofa panjang depan tipi. Lagi nonton berita kasus Bank Century di tipi wan. Mereka membisu, serius memusatkan perhatiannya pada benda berbentuk kotak di depannya itu ato larut dalam pikiran nggak-nggaknya dengan kemunculan orang yang abis bunuh diri secara tiba-tiba. Gara-gara Bank Century. Hihhh
“Malam ini malam minggu. Tapi kok kayak malam jumat kliwon ya? Kalem dan ngeri.” Tanya Jamilah dalam hati. Dan hatinya sekonyong-konyong mengisyaratkan untuk melihat ke jendela. Wajahnya pun memandang ke sana. Oh, jendelanya belum ditutup. Gordennya menari-nari tersapu angin. Serasa jemari setan memanggil-manggil. Dia bangkit menuju jendela itu. Destri dan Yulidar bertanya-tanya dalam hati mo ngapain sih Jamilah, sambil pandangannya mengikuti langkah Jamilah. “Ooo, mau nutup jendela,” benak Destri dan Yulidar. Jamilah pun kembali dengan berlari-lari kecil. Kembali menyelimuti badan.
Di rumah, mereka cuma bertiga. Keluarganya Yulidar keluar kota semua. Dan Yulidar disuruh jaga rumah, dengan alasan pamali rumah ditinggal kosong melompong sedangkan tetangga sebelah baru aja diwisuda oleh Malekat Izrail dan mendapat gelar Alm. Apa boleh buat. Makanya tadi pas di sekolah sampe bersujud segala memohon minta ditemenin nginap banyak-banyak. Tadi sih Brocos dengan senang hati mo nemenin. Tapi Nowei! Haram ada laki-laki yang bukan muhrim di rumahnya.
“Des, kok Tompul sama Sumi belum ada datang, ya?” Tanya Jamilah yang duduk ditengah-tengah. Mukanya pucat dan jantungnya berdebar-debar.
“Iya. Jangan-jangan dihadang di jalanan. Jangan-jangan…?”
“Aaaaaaaah…!” Jamilah dan Yulidar berpelukan.
“Hushhh…! Apa-apaan sih.” Destri menyela berusaha menenangkan suasana. Sebenarnya perasaannya juga kacau. Daritadi mau pipis.
“Des, panggil aja cowokmu suruh temenin kita!” pinta Jamilah.
“Ah, ndak boleh. Pokoknya kalo itu ndak boleh,” potong Yulidar, “apa nanti kata tetangga kalo liat ada cowok yang masuk ke rumah ini? Terus dilaporin sama mama ajiku?”
“Bagas udah tidur,” kata Destri dengan cuek.
Guntur kembali bergaung. Jamilah dan Yulidar kaget, “Ya ampao!” tapi Destri tenang-tenang aja. Bukan apanya, kalo dia ikut-ikutan kaget. Bisa-bisa sofa jadi basah. Pipis. Makanya mati-matian dia selalu siap-siap menghadapi suara guntur.
Setelah itu mereka berusaha menenangkan diri dan membuang jauh-jauh pikiran horor itu.
Nggak lama, telpon di sudut-sudut ruangan berdering, “Telelelelet… telelelelet…” anak-anak jadi kaget. Saling berpandangan penuh tanya. Tapi telepon langsung mati. Anak-anak bernafas lega.
“Telelelelet…telelelelet…!” telpon berdering lagi. Anak-anak kembali kaget. Yulidar merapatkan badannya ke Jamilah.
“Des, angkat dong!” Jamilah memohon.
“Kamu aja. Aku mau pipis.” Destri langsung berlari menuju belakang. Udah nggak tahan.
“Dar, kamu dong! Kamu kan jagoan!” suruh Jamilah lagi.
Yulidar bangkit. Tetapi sambil menarik lengan Jamilah, “Yuk, sama-sama!”
“Ha-halo… m-mau bicara sama siapa?” Jamilah yang ternyata ngejawab panggilan itu. Yulidar bertanya-tanya mudah-mudahan bukan tetangga sebelah yang udah dikubur, lagi iseng amat mo ngerjain orang karena bete sendiri dikuburan.
Tit. Telepon mati tanpa ada jawaban dari seberang sana sebelumnya. Jamilah meletakkan gagang telepon lalu mengajak Yulidar berlari menuju tempat semula. Belum lagi mereka menjatuhkan pantatnya di sofa, telepon kembali berdering. Mereka kembali ke sana dengan takut-takut. Yulidar sempat menahan, ”Jam, kok kayak di pilem hantu-hantu, ya?”
“Hoi, kok nggak diangkat-angkat sih!!!” Sembur Sumi di seberang telepon. Gagang telepon sampe hampir jatuh dari tangan Jamilah yang mo ngejawab saking kagetnya.
“Sumi, Dar.” Lirih Jamilah pada Yulidar.
“Sum, aku Milah. Sudah di mana?”
“Sebelumnya maaf, Jam, aku nggak jadi nginap. Sorry ya. Aku dila….”
Ctak…! Jamilah langsung menutup telepon tanpa berkata apa-apa. Sebel dia.
“...rang. Jam… jam…!” tek-tek-tek. Sumi menekan-nekan tuas pemutus panggilan dengan keras-keras, “Ye… dimatiin. Biarin, yang penting kan aku udah bilang maap.”
“Sialan bener si Sumi. Dia nggak jadi ke sini!”
“Ya mau diapain lagi, Jam.” Yulidar hanya bisa pasrah. Mereka kembali ke tempat duduk. Dan akan tetapi, untuk kedua kalinya, sebelum pantat mereka mendarat di sofa, listrik tiba-tiba padam. Gelap.
“Ahhhhhhh…….!” Jamilah dan Yulidar menjerit dan kembali berpelukan. Seperti Lala dan Tingkiwingki.
”Jam, kamu di mana?” tanya Yulidar.
”Aku di belakangmuhhh...!” jawab Jamilah pake meniru-niru suara Suzzana. Ceritanya mao nakut-naklutin. Tapi kok dia malah yang takut. ”Lagian ngapain pake nanya sih! Ato bukan kamu yang aku pegang?”
Mereka langsung merinding.
* * *

Sebuah taxi menepi di jalan lebar. Seseorang turun.
Terlihat kedua telinga orang itu disumbat pake headset, dengan kabel putih yang menjulur sampai kantong jaket.
Tudung jaketnya menutupi kepala. Dia berjalan menuju jalan yang lebih sempit. Jalan menuju rumahnya Yulidar.
Ctek...ctek...ctek... Langkah kaki orang itu bercipratan. Jalanan memang masih tergenang air walau hujan lebat telah berlalu. Tinggal rintik.
* * *
”Dar...! mati lampu ya?” teriak Destri dari dalam WC. ”Nyalain lilin dong! Gelap. Aku belum cebok!”
”Tunggu, Des!” Jawab Jamilah.
Yulidar berjalan menuju dapur ditemani Jamilah yang nggak mau misah. Jalannya seperti nenek-nenek peot yang abis operasi tulang. Penuh awas.
Belum juga dapat korek dan lilin, terdengar dari beranda depan suara pot jatuh.
”Apa tuh?” Jamilah kaget. ”Denger suara tadi ya, Dar?” lirihnya kemudian.
”Ssst...! Jam, cari benda-benda tumpul. Kayaknya ada maling mau masuk.”
Jamilah langsung menurutinya. Diraba-raba sekitar wastafel dapur, dapatnya benda mirip pesawat UFO. Kalo Yulidar dapat benda yang lebih berat. Kunci Inggris.
”Dapat apa, Jam?”
”Kayaknya ini piring deh.”
”Kamu lapar?”
”Nggak.... nggak salah lagi.” Lalu Jamilah mencari benda lain yang lebih bisa menyakiti. Dapatnya kemoceng.
“Daaaaar…! Udah dapet blom? Lama amaaaaaaaaaaaaaaat!”
”Ussst... Des, jangan ribut. Ada maling.” Yulidar memberitahu lewat pintu WC. Destri bisa dengar. ”Hah, ada maling?” herannya yang lagi asik ngedon di atas kloset.
Pintu WC kebuka, Destri buru-buru menyambut lilin yang diangsurkan padanya. Buru-buru cebok. Lalu buru-buru keluar.
”Matiin, matiin, cepet!” desak Jamilah. Lilin pun mati. Keadaan yang tadi temaram kembali gelap gulita.
”Eh, beneran ada maling?” tanya Destri ragu-ragu.
”Kayaknya, Des. Tadi ada suara-suara di depan.”
“Eh, kamu pasti lupa kunci pintu depan ya, Jam? Hayo…ngaku!” Destri menuding.
”Jangan nuduh dong, Des. Kan yang tadi disuruh Yulidar. Tapi dasar dia aja yang males,” Jamilah menampik asaz praduga tak bersalah itu. Di sampingnya, Yulidar sedang senyum lebar, ”Hehehe... sory, Des!”
”Ayo ke depan!” labrak Destri.
“Kamu yang di depan, Jam.” kata Yulidar yang sambil berputar ke belakang. Seperti maen ular naga panjangnya bukan kepalang: Jamilah, Destri, Yulidar.
”Enak aja, nggak mao. Destri aja!”
”Ya udah. Biar aku yang di belakang, Yulidar di depan.” Destri berusaha bijak, tapi demi kepentingan sendiri.
Dan didapatlah posisi yang mantap: Yulidar, Jamilah, Destri. Mereka pun jalan beriringan menuju depan tanpa ada suara-suara.
Tok, tok, tok...! pintu depan diketuk. Tok, tok, tok…!
Anak-anak semakin berdebar-debar, “Jam, kamu nanti yang buka pintu ya! Nanti biar aku yang pukul.”
“Ah, nggak mao. Destri aja!”
“Uh… nih anak tuyul penakut amat sih,” ejek Destri.
”Udah siap, Des?” tanya Yulidar seraya ambil ancang-ancang bak atlet softball. Kunci Inggris dipegang dengan kokohnya.
”Tunggu. Nih, jam, pegang ini dulu!” Destri memberikan timba plastik yang dari tadi dibawanya dari wese.
”Kita hitung sama-sama,” pinta Destri siap-siap buka pintu. Tangannya udah di daun pintu. Telah siap membuka.
”Sa-tu... du-a... ti...”
”Gaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Gludak...!!!
Suara guntur menyambutnya. Tepat ketika pintu dibuka lebar oleh Destri dan kilat menyambar pula, terlihatlah sosok orang bertudung jaket dengan wajah cemberut agak jauh di depan pintu.
”Huwaaaaaaaaaaa........!” Yulidar dan Jamilah langsung teriak keras-keras seraya berpelukan melihat sosok penampakan yang jelas sekali terlihat sesaat ketika kilat menyambar. Takut. Kunci Inggris yang terjatuh dari tangan Yulidar langsung menimpa jempol kaki Destri, ”Hiyaaaaaa.....!”
”Kalian kenapa sih, ribut-ribut.” Sapa suara di depan pintu itu. Oh, itu suara yang tak asing lagi. Tompul.
”Eh, Tompul ya?” sambut Jamilah.
”Bukan. Nike Sitompul!” jawab Tompul ketus.
Seperempat jam setelah kedatangan Tompul, lampu telah hidup. Anak-anak langsung senang.
Tidak lama kemudian, terdengarlah orang ketawa-ketiwi di dapur. Suara adonan tepung dimasukin dalam minyak goreng panas: berdesis. Mereka saling menceritakan pengalaman yang baru aja kejadian. Destri paling kasihan, jempolnya nyut-nyutan. Yulidar dan Tompul paling keras ketawanya. Laler-laler sampe terhisap masuk.
Ternyata benar yah, hari Sabtu adalah hari yang paling mendebarkan. Hehehe...

 * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalo mau komentar2 langsung aja cuyy