Minggu, 13 Mei 2012

Muslihat Cinta


Dikarang Oleh: H. Yahya
 
>---////-)>
Tak ada habisnya ceritain tentang cowok dan cewek-cewek kece yang sekolah di STM negeri 1 Bontang ini! Tak ada habisnya pula tokoh Restu selalu jadi tokoh super sengsara dalam cerita ini. Bukan hanya penulisnya sendiri, bahkan tokoh pigura pun tak mau kalah dalam menjelek-jelekkan Restu. Mentang-mentang Restu sudah jelek.

Seperti di siang hari ini ketika Restu, dan seorang temannya yang kurus, lagi berdiri di bibir jalan tembus pekate untuk cari tebengan pik-ap mo ke lapangan be te en lama. E eh, ujung bajunya yang nggak dimasukin ke celana serasa ada yang tarik-tarik,
“Om, om… pinjem topengna dong!” kata seorang bocah laki-laki bau kencur dengan polosnya.
”Topeng...?” heran Restu, ”Aku nggak punya topeng, ade! Kalo Abangku punya banyak dia. Di Medan sana tapi.” Jawab Restu dengan dialeg khasnya.
“Ah, Om, boong. Itu apa?” kata anak kecil itu sambil menunjuk telak ke wajah Restu. Bushet, disangkanya Restu topeng monyet, apa?!”
Restu langsung mo ngamuk tapi Toro langsung menahannya, ”Tu, tu... jangan, bodo. Kamu nda liat mamaknya kah? itu yang duduk di warung,” cegat Toro.
”Hihh... kalo bukan anak ingusan aku plintir kuping kau itu!” kesal Restu.
Bocah itu hanya bengong melongok seribu tanya ke wajah Restu. Dia berpikir, ternyata selain membasmi kejahatan, kera sakti juga suka marah sama anak kecil ya?
* * *

Anak-anak KI sudah siap semua di lapangan. Ada yang pemanasan keliling lapangan, selain ada yang main kartu di kursi tribun timur (emangnya koran!). Musuhnya kali ini nggak jauh-jauh. Juga bisa dibilang masih sodaraan. Sama-sama kimia. Siapa lagi coba kalo bukan anak Analis, tetangga kelas mereka?
Dan memang anak KI suka maen bola lawan anak Analis. Kenapa? Heh, siapa sih yang nggak kenal sama kelas Analis? Yang terkenal dengan gudangnya cewek-cewek bohai di STM ini? Apalagi yang namanya Gani, penghuni kelas KI, yang jadi plaimeker kelasnya? Kalo dibilang nantang kelas Analis, dia duluan paling semangat keluar kelas pas pulangan. Sampe lompat pagar sekolah segala saking penginnya cepat-cepat ke lapangan.
Juga yang namanya Bimo, Udin, Hans dan sederetan nama-nama tampan lainnya, puaaaaaaling semangat. Biar kata, nggak dapat gol, yang penting dapat senyum dan yel-yel penyemangat justru dari cewek-cewek lawan sendiri, yang manis-manis kayak madurasa itu.
”Hoi, Danu, sudah siapkah temanmu?!” teriak Udin dari tengah-tengah lapangan kepada ketua kelas analis, si Danu, di tribun sebelah Barat. Si Udin ini udah mirip Khadafi, pemain Bontang FC yang dibeli dari PSM.
Danu kasi tanda jempol. Berarti mereka sudah siap. Siap menerima kenyataan akan dibantai 3 lusin.
”Ayo, ayo... Danu, ayo, iqbal, ayo Ridwan, ayo Enos batu licin, ayo kompor!” cewek-cewek analis kasi semangat pada teman kelas mereka. Semangat mereka pun jadi naik.
“Sialan, Pad, mereka dapat support dari cewek-cewek.” Kata Bimo pada Fadly. Irinya nggak bisa diumpetin.
”Tenang aja, Bim, kita juga suruh temen-temen cewek ngedukung kita.” tutur Padly dengan semangatnya. ”Ayo, teman-teman, kasi kita semangat dong!” teriak Fadly sambil melongok ke arah belakang: tempat supporter mereka duduk.
Tapi???
”Lho, kok batangan semua? Mana cewek-cewek kita, Bim?” tanya Fadly pada Bimo. Bimo juga langsung nengok ke belakangnya. Semangatnya sempat down ketika yang dilihatnya adalah Adi Surya, Amrin, Hans, Pendy, Adi Waluyo dan lain-lain dari makhluk sejenis.
”Lho, pada kemana ya, Pad, cewek-cewek kita? Destri bilang tadi mo liat kita. Kasi semangat. Mungkin dia lupa ya? Tapi Nggak papa, Pad. Tanpa cewek kita pun bisa semangat. Yang penting kita masih bisa liat cewek analis, Pad.” sambut Bimo lagi dengan mantapnya ambil posisi di tengah-tengah tiang gawang.
”Ya, udah. Jaga tuh gawang yang bener. Jangan sampe kebobolan!”
”Oke, Pad.”
Pluit babak pertama pun ditiup (siapa yang niup?), sejurus kemudian si kulit bunder menyosor di rumput menuju kaki Gani. Anak KI yang beruntung bagi bola duluan.
Gani masih bermain-main dengan boneka... eh, maksudnya dengan bola. Trus dioper ke Meyrano pake umpan lambung. ’Tap’, Meyrano menyambut bola dengan sedikit lompatan dan mengenai dada. ’Slep! bola dengan indahnya jatuh ke lututnya dan terus ke kaki. Bola digocek-gocek sedikit, dibayang-bayangi oleh Ridwan dan bayangannya, sebelum kembali ke kaki Gani.
Hup! Gani menerima umpan bukan terobosan dan berkata, ”Bagus, Mer,” sembari terus berlari membawa kabur tuh bola lecek. Dan di dekatnya, dua orang berusha merebutnya, Ardi dan Danu, tapi Gani memang lincah seperti belut sawah. Dia lolos.
Keperawanan gawang Iqbal, kiper analis, hampir saja ternoda ketika umpan lambung Gani yang mengarah ke tengah-tengah gawang dengan senang hati diterima oleh heading Fadly. Hup! Iqbal melompat dengan santainya menangkap bola itu. Cewek-cewek analis histeris sambil gigit jari di bawah tribun.
”Belum, itu baru pemanasan!” pekik Fadly dengan sombongnya.
Gani langsung kasi acungan jempol entah ke siapa. Niru-niru bintang sepak bola yUrop. ”Bagus, Pad!” apresiasinya sambil berlari-lari kecil kembali ke pertahanan.
”Bagus, kenapa, Gan? Dicariin sama Bu Melfa ya?” tanya Rohiman becanda.
”Nda papa. Si Bagus Prakoso belum nyentuh bola.”
Bola sementara aman dalam rengkuhan kiper analis. Sebentar kemudian bola ditendang olehnya dan melambung jauh, nggak sampai ke tengah-tengah lapangan. Fadly berhasil memperebutkan bola tinggi itu setelah beradu dengan lompatan Ridwan. Kemudian dibawa lari juga tapi datang Rombe, pemain tengah analis, entah dari arah mana, memberikan sleding tekel. ”Augh...!” jerit Fadly dengan gerakan superman lagi nyangkut di poon palem.
”Prit...!” bunyi mulut gani menirukan pluit, ”pelanggaran!” lanjutnya.
Dari titik pelanggaran, bola dieksekusi oleh Asrin dengan tendangan sekeras-kerasnya. Dan, nguiiiiiiiing... trash! bola melambung jauh dari gawang dan masuk ke hutan-hutan. Luar biasa!!! Salut teman-temannya.
”Mantap, Srin. Powernya sudah oke, tinggal akurasinya,” puji Gani lagi sok memuji. Asrin hanya ketawa-tawa. Memang niatnya mau bikin capek anak analis kok untuk pungutin bola jauh-jauh.
Pertandingan baru berjalan lima menitan. Semangat kedua tim masih membara. Tim lawan, dalam hal ini adalah anak analis, terus mendapat penyemangat dari cewek-cewek mereka. Sedangkan suporter dari anak KI malah asik sendiri main rebut bola di pinggir lapangan.
”Oke, Mer, sudah cukup pemanasannya!” kata Gani lagi serius.
Dan ternyata omongan gani bukan isapan jempol kaki belaka. Karena tak lama, anak KI berhasil membobol ATM Mandiri Loktuan. Ups, salah! Yang gue mau bilang anak KI berhasil membobol gawang analis untuk yang pertama kalinya dari kaki mulus Gani. Dan di menit 05:30, Gani kembali ngeliatin tajinya dengan menambah koleksi gol kedua. Mereka sudah teriak-teriak berselebrasi. Hebat! Cewek-cewek analis langsung takjub. Alam bawah sadar mereka langsung merespon dengan gelengan kepala, ”Wah, Gani hebat ya,” batin seorang cewek analis setengah nggak percaya.
Ibarat penyakit menular, tiga gol selanjutnya mewabah di tengah teriknya matahari jam 2 dari anggota tim KI lainnya. Yang menggolkan terakhir termasuk langka dalam hal membobol gawang lawan, si Hendra. Banyangkan, betapa rapuhnya pertahanan analis. Si manusia putih itu aja ngegolin! Yang biasanya main di pe es pun tak pernah menang, kecuali seri 0 – 0. Tak bisa dielak, skor 5 – 0 untuk kemenangan sementara di menit 20 bagi anak KI. Pohon-pohon yang tumbuh di pinggir-pinggir lapangan seakan tertawa.
Bola berada di tengah-tengah lapangan kembali. Nanda, striker analis, siap-siap membagi bola. Langsung dioper pada Ridwan. Ridwan membawanya sampai hampir masuk ke area pertahanan Gani dkk. Ahmad langsung menghadangnya, tapi lewat. Datang lapis pertahanan kedua, Puji. Sepertinya Ridwan akan kewalahan menghadapi makhluk kokoh yang satu ini. Sementara itu anak-anak analis lari semua ke depan, ke arah gawang Bimo berharap salah satu dari mereka dielu-elukan dengan golnya. Ridwan mendengar teriakan teman-temannya itu minta bola, yang paling keras didengarnya adalah suara Alfius Rombe. Ya, kukasi aja ke Rombe, pikirnya. Bola disilang ke arah Rombe, yes, rombe menerima umpanan itu walopun nggak mulus-mulus amat. Tapi hadangan belum berakhir, ada Hasbro menghadapinya. Sempat Hasbro mikir, ”Biar deh, anak analis kasi golkan. Supaya mereka jadi semangat mainnya,” maka bola nggak begitu dihadepin malah terkesan membiarkan Rombe sebebas-bebasnya ngegocek bola, weh... Rombe jadi bangga ngelewatin orang.
Sementara Rombe semakin mendekati gawang Bimo, jauh di tribun sana, cewek-cewek analis trus memberikan semangatnya. Ada yang teriakin gini, ”Rombe... aku terima cintamu kalo bolanya masuk!” itu suara lembutnya Madonna lho. Dia terpaksa ngomong gitu supaya ada kasihan bola bisa masuk di gawang anak KI sialan itu. Padahal Madonna sambil harap-harap cemas. Gimana kalo Rombe benar-benar ngegolin, apakah aku harus menelan ludah kembali? Gimana martabatku sebagai anak tunggal direktur PDAM kilo 6 dan cantik ini kalo digaet ama Rombe, ato gimana martabat kelasku yang akan dipermalukan tanpa gol? Apakah aku tega demi kepentingan sendiri?” tapi demi kejayaan dan martabat orang banyak, Madonna berujung ikhlas.
Rombe semakin bangga hati karena ngelewatin seorang lagi, sayap kiri KI yang turun cepat ke daerah pertahanan. Bukan untuk mau mempertahankan keselamatan gawang. Tapi supaya dia bisa langsung kasi semangat kalo ternyata Rombe berhasil membobol gawang Bimo. Lumayan, memuji Rombe langsung kontan rokok satu bungkus.
Dan apakah yang terjadi setelah Rombe melepaskan tendangan pamungkasnya?
Sreet!!
Oh, dia terpleset. Celananya robek. Pantatnya mendarat di tanah. Bolanya menyosor datar-datar aja di tanah dengan lambat sekali, perlahan-lahan menuju Bimo. Bimo tak perlu berakselerasi menahan laju bola dengan tangannya, kakinya, apalagi dengan lompatan. Dia cukup merendahkan badannya, seperti orang rukuk kalo sembahyang, dan mengisi kedua pipinya dengan udara, lalu... huffffh, bolanya ditiup. Akhirnya pergerakan bola setop. ”Mantap, Bim,” puji Gani lagi.
Tapi Bimo tak mau ngeremehin lawan sih. Buktinya, dia langsung menendang bola sejauh-jauhnya dan sekeras-kerasnya ke arah gawang seberang, yang di sana ada Fadly, Gani, Meyrano dan Rohiman siap menyambut bola. Dan bolanya mengarah ke Fadly di tengah-tengah lapangan.
Naas bagi klub analis, hanya ada sepasang yang menjaga di sana: bek dan kiper. Fadly nggak mau serakah, dia mau main cantik, makanya bola dioper ke Rohiman. Rohiman dapat bola dan perlahan menghentikan larinya. Dari Fadly, si bek tadi berlari menuju Rohiman dengan kecepatan kuda. Rohiman juga nggak mau serakah, dia oper bola ke Gani. Bek perkasa itu berlari ke Gani di sisi kanan lapangan, dengan kecepatan kereta expres. Dasar si Gani sukanya ikut-ikutan, dia juga nggak mau serakah. Bola dioper ke Meyrano di sisi kiri lapangan. Bek teladan itu berlari ke Meyrano, kali ini dengan tenaga ayam abis berbuat mesum dengan ayam tetangga, terengah-engah. Meyrano menerima umpan lambung Gani dengan suka cita. Tapi Meyrano, meskipun udah berhadapan dengan kiper dan kalo nendang 99% gol, 1%-nya faktor kiamat, toh dia masih nggak mau ngegolin. Takut dibilang serakah. Maka empat orang di sana: Fadly, Gani, Rohiman dan Meyrano hompimpa alaium gambreng dari jauh. Si Gani yang beruntung, dia berbenak, ”Masak aku lagi sih yang kasi gol. Bosan aku.”
Sementara itu anak-anak analis yang tadi semua ada di daerah pertahanan KI berlari mau nyelamatin bola. Mumpung empat orang anak KI gendeng itu berbaik hati ngejeda masukin gawang, pake hompimpa segala. Gaya lho!
Gani capek bermain-main. Disungkit saja bola itu, ngelewatin jangkauan Iqbal dan mengenai pundak Rohiman secara tidak sengaja. Rohiman gelagapan nggak nyangka dapat operan. Bola dari pundak Rohiman mantul ke tiang sebelah kiri gawang, dan mantul lagi masuk ke gawang. Gol....!
Selebrasi kali ini biasa-biasa aja. Karena semuanya merasa bukan dari mereka yang ngegolin.
Tapi tiba-tiba ada suara cempreng yang teriak, ”Opsaid!”
Anak-anak KI bengong. “Opsaid?” kok baru ngomong, lambat amat loadingnya.
Suara cempreng itu ternyata lahir dari mulut Rombe, anak kanaan yang sebenarnya berparas butuh rasa kasihan. Dia sambil merebut bola dari gawang dan masih terus ngomong “Off side”. Awalnya hanya Rombe seorang yang berani meralat gol dengan alasan secetek itu. Tapi teman-temannya yang lain ikut bersuara bilang ”Off side”. Di tribun sana, cewek-cewek juga ikut-ikutan ngomong ”off side” meskipun nggak ngerti istilah tersebut. Yang ada di benak mereka, kalo ngomong ”off side” golnya nggak jadi. Ya udah, teriak-teriak gitu aja.
Karena lagi hepi, teman-teman KI merelakan gol indah mereka dianulir.
”Nggak apa-apa, kasi... kasi...” kata Fadly.
”Iya, kasi aja, teman-teman.” Bimo teriak pula.
”Nanti tukar dengan satu cewek kalian ya?” usul Gani
”Iya. Tukar dengan Madonna.”
”Jangan Madonna. Ipit aja, bodo.”
”Jangan. Fitriyani aja.”
”Aku mau Agustini!”
”Ah, selera kalian gitu aja ya? Aku Enos.”
“Lho, buat apa, Srin?” tanya Fadly.
”Lumayan, bantu potong-potong kayu bakar.”
”Bodohnya ini semua,” celetuk Hasbro yang langsung berlari ikut musyawarah. ”Ambil semua ceweknya, bodo!”
”Hahaha...!” anak-anak KI ketawa.
Anak analis hanya geleng-geleng kepala. Terbersit rasa penghinaan yang luar binasa di pelupuk mata. Menyesal mereka menuruti tanding bola. Tapi apa boleh buat, namanya juga pihak yang kalah.
Dan keprihatinan temen-temen cewek analis terkumpul dalam sebuah ide. Ide apakah itu?
”Kayaknya teman kita nggak bisa menang kalau cuma mengandalkan skil,” ujar Fitriyani.
”Trus gimana lagi, Fit? Tanya Ika.
”Apa kita harus ngegantiin bubuhan mereka? Kita yang maen lawan anak KI itu? Bisa, gin?” Nevy menyambung.
”Ah, itu sih bukan tempatnya cowok cewek main bola. Ntar kalo kamu udah dilamar Gani, Vy, baru main bola sepuasnya berdua,” kata Fitriyani becanda.
”Ih, jangan ngeres ya?”
”Kamu yang ngeres duluan.
“Kok pada ribut sih. Mikir dong! Gimana nih, teman-teman udah kita kasi semangat, harepan juga udah kita berikan, senyuman, minuman, sampe si Donna nazar segala pengin jadian ama Rombe.”
“Hush, apaan sih,” tegur Madonna malu-malu.
”O ya aku dapet ide!” seru ipit yang dari tadi diam buat ngumpulin ide. “Justru kalian semangatin temen-temen kita malah semangatnya jadi kendor, alias terlena oleh kita-kita yang cantik ini,” jelasnya sesekali melentikkan bulu mata.
”Ih, jijai, lebay...!”
”Lho, nyatanya kita-kita memang cantik kan, Tin?”
”Betul, betul, betul.”
”Iya sudah. Apa ple tadi ide lo?”
“Nah, kalo temen sendiri aja bisa terlena kalo disemangatin, kenapa kita nggak lakuin hal yang sama pada cowok-cowok KI? Kebayang, nggak, apa jadinya?”
Sejenak wajah cewek-cewek itu tertahan oleh rangkaian kata lalu bareng-bareng mengeluarkannya, ”Kita godain....!”
Aksi penggodaan pun dilakukan oleh cewek-cewek analis. Namun tanpa sadar, selama mereka berembuk, sudah tercipta lagi sepuluh gol.
Dari Jauh, Meyrano membawa bola sendirian. Satu, dua, tiga, empat pemain lawan dilewatin dengan mulus. Tak jauh dari titik putih, Meyrano siap-siap menghujamkan tendangan finisingnya. Di saat yang bersamaan ada aksi komando di tribun sana,
”Satu, dua, tiga... Meyrano ai lav yu........!!!!!”
Pernyataan cinta palsu dari serempak cewek analis membahana. Semua pandangan menuju ke arah pernyataan norak itu sambil bengong. Meyrano, tertusuk hatinya oleh panah asmara, padahal sepakan kakinya hampir mendarat di bola, namun nggak jadi. Urat kakinya tiba-tiba kaku, otot kaki menegang kayak iklan counterpain dan,
”Ayo, Wan, rebut bolanya...!” Ridwan tersadar bahwa ternyata itu hanya strategi memenangkan pertandingan. Dukungan dari pemain ke-13.
Anak analis yang lain juga baru sadar. Mereka langsung berlari naik siap menerima suplay bola. Saat Ridwan akan dihadang oleh bek tangguh, Muklis, pernyataan cinta palsu kembali menggema, ”Muklis ai lav yu very very very much....!!!!” sama halnya dengan Meyrano, Muklis terlena tak berdaya. Hidungnya meler. Keluar darah. Rupanya ada jaringan saraf nadi yang over pressing ketika terdengar ada yang menyet (menyatakan cinta). Muklis minta keluar dan diganti oleh Adi Waluyo.
Tepat ketika Ridwan menendang bola menuju gawang Bimo, lagi-lagi pernyataan cinta tak tulus terdengar. Korbannya kali ini Bimo. Apalagi Bimo, tubuhnya langsung panas dingin.
”Goooooooooool.......!” anak-anak analis menyambut gol itu dengan sangat gembira.
Cewek-ceweknya lalu bertos ria, ”Yeah... berhasil.”
Berturut-turut anak analis ngegolin lagi 3 gol melalui proses yang sama.
”Waduh, kalo gini terus, kita bisa kalah pren,” keluh Gani.
”Lantas gimana dong?” Tanya Fadly.
Hasbro yang menyimak briping itu tiba-tiba dapat ide, ”Aku tau!!!” serunya.
* * *

”Sialan, gara-gara idenya Hasbro aku terpaksa masuk rumah sakit,” keluh Toro yang baru pulang dari dokter spesialis TeHaTe. Segumpal kapas berhasil dikeluarin dari lubang telinganya.
”Yang penting kita menang, To...” kata Restu, ”Naik...!” lanjutnya meminta Toro naik di boncengan.
”20 – 3... Hahahahaa...!!!”
* * *

3 komentar:

  1. wuahahahahahaha.. ceritanya lucu, segar, dan bikin nostalgila lagi sama masa stm dulu.. good job bro!!

    BalasHapus
  2. jd fadly nd nyetak ya kasian ckckckckkk

    BalasHapus

Kalo mau komentar2 langsung aja cuyy